SKAU Marak , IL Durian Merebak
Oleh: A. Alexander Mering
Pembabatan dan perdagangan kayu durian dengan alas Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) di Kabupaten Landak semakin marak, menyusul diterbitkannya sejumlah Peraturan Mentri Kehutanan tentang SKAU yang ditindaklanjuti dengan SK Bupati Landak tentang Pejabat Penerbit SKAU Pebruari 2009 silam.
“Berdasarkan prosedur lacak balak, kayu-kayu yang diambil di kawasan masyakat ini seharusnya dilengkapi bukti kepemilikan yang sah. Karena itu beberapa kasus yang ditemukan di lapangan kami pastikan sebagai Illegal Logging,” tegas Lorens, salah seorang aktivis Lingkungan Hidup Kalbar, belum lama ini. Lorens Kelahiran Saham, salah satu desa yang pohon duriannya banyak dibabat.
Menurut dia yang terjadi sekrang adalah penyalahgunaan wewenang SKAU. Dia menilai adanya indikasi ketidakmampuan Dinas Kehutanan melakukan monitoring terhadap penertibatan kebijakan yang telah dikeluarkan.
Hal lain menurut yang patut diperhatikan adakah pengeluar kebijakan menghitung nilai ekonomi kayu di masyarakat yang mana dampak dari kebijakan itu juga membuat terjadinya pelunturan nilai kearifan lokal masyarakat. Pohon durian bagi masyarakat adat, bukan sekadar tanam tumbuh, tetapi juga memiliki demensi sosio-culture serta budaya di tengah masyarakat.
Berikutnya kata dia, jika kayu itu keluar Kalbar—apalagi ke luar negeri—dalam bentuk mentah, dapat dipastikan tidak bakal memberikan kontribusi kepada daerah secara langsung.
Karena itu Lorens meminta pemerintah segera mengambil sikap dan mengkaji kembali SKAU. “Seharusnya pemerintah memiliki blue print tata kelola kehutanan, khususnya system supply-endowments, kebutuhan kayu domestiknya,” tegasnya.
Kades Saham, Kora, mengatakan sampai saat ini dia ragu menerbitkan SKAU meski sudah mengantongi salinan surat keputusan No 522/17.A/HK-2009 dan ditunjuk menjadi pejabat penerbit SKAU.
“Saya dalam posisi yang serba salah,” kata dia ketika ditemui di Saham. Di satu warga masyarakat tertentu melihat SKAU sebagai peluang untuk menangguk uang, di pihak lain menebang durian sama artinya mempercepat penghancuran nilai-nilai yang diwariskan nenek moyang di tengah masyarakat. Sebab durian juga adalah simbol budaya dan sosial yang masih hidup di tengah masyarakat di kampungnya. Karena itu pohon-pohon durian yang hidup di sebuah kompokng (kawasan) biasanya milik komunitas, bukan perorangan dan kebanyakan tidak memiliki sertifikat atau surat menyurat, apalagi dokumen yang diakui oleh Badan Pertanahan Nasional, seperti yang diisyaratkan peraturan tentang SKAU.
Kepala Balai Pemantau Pemanfaatan Hutan Produksi (BP2HP) Kalimantan Barat, Waspodo yang ditemui di ruang kerjanya, mengatakan bahwa filosofi SKAU justru adalah untuk melindungi masyarakat. Supaya ketika mereka mengelola kayu dari hutan hak, tidak disamakan dengan hutan Negara dan tidak dipersalahkan.
Karena itu Peraturan Menteri Kehutanan P.33/Menhut-II/2007 tentang Hutan Hak dan Lahan masyarakat dibuktikan dengan Sertifikat hak milik, atau leter C, atau surat keterangan lain diakui Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau sertifikat Hak Pakai atau surat atau dokumen yang diakui sebagai bukti penguasan tanah atau bukti kepemilikan lainnya. Menurut Waspodo, Hak Guna Usaha tidak termasuk.
“Karenanya itu saat pelatihan untuk para Kades pejabat penerbitan SKAU itu, kami hadirkan juga pelatih dari BPN,” kata Waspodo.
Terkait adanya pungutan untuk SKAU dari Dinas Kehutanan di daerah, Waspodo mengatakan yang diatur hanya yang terkait dengan pengelolaan hutan Negara dalam bentuk Provisi Sumber Daya Hutan/Dana Reboisasi (PSDH/DR). Untuk SKAU tidak diatur.
Meskipun pihaknya tidak melakukan evaluasi pelaksanaan SKAU, dengan alasan sebenarnya hal tersebut tidak perlu diatur, tetapi jika ternyata ada Kades yang melampaui kewenangannya, misalnya menerbitkan SKAU bias untuk yang berasal dari hutan Negara maka yang bersangkutan akan kena Pidana Kehutanan.
“Dalam pelatihan saya bilang kepada para Kades agar berhati-hati,” tegasnya.
Setakat ini BP2HP sudah melatih lebih dari 296 Kades, penerbit SKAU dari semua Kabupaten Kota di Kalbar. Tapi tidak semua Kades yang sudah dilatih diangkat, belum lagi ada Kades yang tidak terpilih lagi.
Salah seorang pedagang kayu durian asal Saham, Sopian, mengatakan bahwa sebagai pengusaha lokal ia melihat ini sebagai peluang untuk membantu masyarakat setempat. Karena kalau tidak, yang untung justru orang luar.
“Tetapi saya tidak sembarangan membeli,” katanya. Dia akan menge-check dulu kebun durian yang akan ditebang. Jika para pemilik atau ahliwaris kebun atau pohon durian belum mencapai kesepaktan untuk menjualnya, dia tidak mau membelinya. Selain itu dia juga bilang selalu menyarankan kepada pemilik kebun untuk memilih durian yang tidak produktif saja yang ditebang
FOTO: DURIAN TERAKHIR
Dua generasi desa Saham cuma dapat menatap tunggul-tunggul pohon durian yang ditebang menyusul diterbitkannya SKAU di Kabupaten Landak. Pohon-pohon durian sebagai representasi nilai dan situs warisan nenak moyang mereka ini terus diburu para pedagang kayu, tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan bagi masyarakat adat dan lingkungannya. FOTO A. Alexander Mering/Borneo Tribune
0 komentar