Petani kecil sebagai soko guru sistem pangan

Voice of borneo | 05.39 | 0 komentar

Peran produsen pangan skala kecil dan masalah penduduk rawan pangan sering dilupakan dalam membuat kebijakan pangan. Produsen pangan skala kecil yang terdiri dari buruh tani dan petani kecil, masyarakat adat, nelayan tradisional, peternak kecil merupakan penopang utama ketahanan pangan lokal, nasional bahkan global. Ironisnya, sebagian besar dari mereka merupakan penduduk yang rawan pangan.

Menurut perhitungan Kompas (26/04/10), 25 juta rumah tangga petani Indonesia memproduksi pangan, meliputi padi, jagung, kedelai, ubi kayu, dan ubi jalar, senilai Rp 258,2 triliun setiap tahun. Pola pertanian mereka berbasis sumber daya lokal yang mengkombinasikan tanaman pangan dan tanaman perdagangan serta peternakan terbukti berhasil memenuhi kebutuhan pangan dan pendapatan. Mereka juga dapat menjaga kelestarian lingkungan juga relatif tahan terhadap tekanan berbagai krisis.

Produsen pangan mengelola lahan sempit dengan teknologi sederhana. Mereka berada pada kondisi yang lemah (powerless) dalam mengakses lahan, informasi, modal, sarana produksi pertanian, pengolahan, dan pemasaran. Meskipun mereka telah mengembangkan pola nafkah ganda, kondisi kehidupan buruh tani tidak mengalami perubahan dan identik dengan kemiskinan. Penduduk miskin perdesaan berjumlah 20,62 juta (63,38 persen) pada Maret 2009 (BPS, 2010). 56% dari total penduduk miskin desa menggantungkan kehidupan sepenuhnya kepada sektor pertanian (Winoto, 2008).

Kemiskinan sangat terkait dengan kerawanan pangan. Penduduk Indonesia yang sangat rawan pangan (mengkonsumsi energi kurang dari 70% dari 3.000 kalori per hari) tahun 2008 berjumlah 25.11 juta jiwa (11,07 %) (Basuki, 2010). Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Nasional 2009 memotret 346 kabupaten dan menemukan 100 kabupaten yang memiliki tingkat risiko kerentanan tinggi. Ada 30 kabupaten yang masuk prioritas 1 (antara lain 11 di Papua dan 5 di Papua Barat). 30 kabupaten masuk prioritas 2, serta 40 kabupaten masuk prioritas 3.

Peminggiran Petani Kecil

Indonesia merupakan salah satu negara yang mengakui pangan sebagai hak asasi dan berkomitmen untuk menurunkan angka kemiskinan dan kelaparan. Namun kebijakan pemerintah selama ini lebih memprioritaskan industri dan perkebunan yang berorientasi ekpor. Sementara kebijakan pangan lebih berorientasi untuk meningkatkan produksi beberapa komoditas strategis yang berbasis pada teknologi modern, modal, dan pasar.

Komitmen pemerintah untuk sektor pertanian sangat lemah. Hal itu antara lain terlihat dari Anggaran Pembangunan dan Belanja Nasional (APBN) untuk sektor ini hanya sekitar 3%. Hal itu diperparah oleh buruknya koordinasi antar departemen, serta kurangnya kapasitas dan integritas para pelaksana program.

Para produsen pangan kecil dianggap tidak produktif sehingga juga diangap tidak mampu untuk menjawab kebutuhan pangan nasional yang terus meningkat. Oleh karenanya Pemerintah dapat dikatan telah melakukan blaming the victims kepada para petani kecil. Petani kecil dibiarkan bertarung dengan kekuatan yang tidak sebanding di pasar yang semakin bebas.

Indonesia yang semakin terintegrasi ke dalam pasar dunia membuat petani kecil dan buruh tani semakin rentan. Raksasa produsen input pertanian, bahan pangan dan olahan, serta retailer melakukan konsolidasi horisontal sehingga semakin menguasai semuai mata rantai pertanian -pangan. Produsen pangan kecil kemudian tidak mampu bersaing di pasar karena hambatan yang semakin ketat dalam keamanan dan kualitas produksi.

Kebijakan pemerintah yang bias industri dan mengabaikan potensi pangan lokal mengakibatkan Indonesia kian terjebak impor pangan. Neraca perdagangan pangan, hortikultura, dan peternakan Indonesia tahun 2008 mengalami defisit 4.859.038 US$, atau meningkat 2.165.885 US$ dibanding tahun 2005 yang berjumlah 2.693.153 US$.

Berbagai tantangan di atas mengakibatkan jutaan keluarga produsen pangan kecil semakin kehilangan peran dan kemandiriannya. Mereka bahkan kemudian berubah menjadi pasar atau konsumen produk perusahaan pertanian-pangan. Tidak mengherankan jika terjadi peningkatan kerawanan pangan dan kemiskinan yang mendorong terjadinya urbanisasi di kalangan buruh tani dan petani kecil, terutama kaum muda dan perempuan.

Pertanian Kooperatif

Agar dapat menghadapi berbagai tantangan internal dan eksternal yang semakin besar, produsen pangan kecil perlu dilindungi dan didukung. Koperasi merupakan badan usaha yang cocok sebagai wadah bagi petani dan sesuai dengan konstitisi. Melalui koperasi ini konsolidasi usaha para petani dan buruh tani mengintegrasikan lahan-lahan mereka yang sempit dan terfragmentasi milik anggota anggota atau petani lain dalam suatu sistem manajemen usaha kooperatif secara terpadu.

Cooperative Farming (CF) merupakan kritik terhadap konsep Rice Estate dan Corporate Farming yang saat ini dikembangkan oleh pemerintah. Rice Estate dan Corporate Farming dinilai lebih berorientasi utama mengejar keuntungan bagi pemilik serta gagal untuk mengurangi kemiskinan dan kelaparan. Sementara pertanian kooperatif lebih adil, humanis dan demokratis.

Pertanian kooperatif (PK) merupakan pemecah kebuntuan dari reformasi agraria yang merupakan prasyarat utama bagi suksesnya pembangunan pertanian dan kedaulatan pangan. Pada kelembagaan ini, petani melakukan konsolidasi manajemen usaha pada hamparan lahan yang memenuhi skala usaha. Idealnya jumlah petani pada setiap PK sekitar 10 – 20 orang dengan luas hamparan sekitar 10 - 40 hektar. Mengingat luas rata-rata pemilikan lahan petani Indonesia hanya sekitar 0,3 ha maka persyaratan itu perlu disesuaikan dengan mengembangkan PK spesifik lokasi.

Koperasi atau asosiasi yang berbadan hukum ini diterapkan manajemen koperasi yang berorientasi bisnis atau korporasi yang berorientasi sosial dalam menjalankan usahanya. Melalui PK tersebut diharapkan tercipta suatu usaha terpadu yang dapat meningkatkan efisiensi dan produktifitas usahatani yang berorentasi untuk memenuhi kebutuhan sendiri sekaligus pasar.

Para petani dapat melakukan peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha dengan perbaikan varietas, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit serta pengelolaan pascapanen. Perbaikan varietas dilakukan dengan menumbuhkembangkan usaha penangkaran benih bermutu di tingkat lokal oleh petani penangkar benih. Inovasi teknologi baru misalnya dengan SRI serta pembuatan dan penggunaan pupuk dan pestisida organik, serta rasionalisasi pengunaan air dan input dalam demonstrasi plot di sentra produksi.

PK juga membantu anggotanya untuk meningkatkan aksesibilitas terhadap sumber-sumber pembiayaan usahatani melalui simpan pinjam dan akses ke lembaga keuangan. PK juga bisa mengembangkan jasa pengolahan hasil yaitu jasa alsintan untuk pengolahan lahan dan pascapanen sehingga meningkatkan efisiensi, rendemen, kualitas, dan nilai tambah produk baik kepada anggota maupun petani non-anggota.

Terkait dengan infrastruktur pertanian seperti irigasi, jalan dan pasar, PK bisa mengembangkan pengelolaan infrastruktur berbasis petani. Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur dilakukan atas dasar kemandirian pengelolaan baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan pembangunan atau pemeliharaan infrastruktur pertanian. Dukungan dari pemerintah dan pihak lain diperlukan, namun semuanya dalam kontrol kelompok.

Dalam upaya memperbaiki ketahanan pangan dan harga jual padi para anggotanya, PK melakukan mengembangkan lumbung dan meningkatkan akses pasar bersama yang lebih adil. Lumbung padi keluarga maupun kelompok diperlukan untuk menjamin agar para anggota memiliki cadangan pangan yang cukup hingga musim panen berikutnya.

Peningkatan akses pemasaran yang lebih adil dilakukan untuk meningkatkan pendapatannya dan meningkatkan kemampuan tawar bersama terhadap tekanan harga dari para pedagang. PK berupaya untuk meningkatkan nilai tambah hasil serta memperpendek jalur distribusi komoditas, dengan memperkecil jumlah pelaku pemasaran dalam rantai pemasaran. Peningkatan harga jual dilakukan dengan mengolah gabah menjadi beras hingga pengepakan. Sousi untuk memperpendek jalur pemasaran antara lain dengan mmemangun kemitraan antara PK dengan institusi pemasaran yang difasilitasi oleh pemerintah maupun membangun jalur pemasarannya sendiri.

Selain itu, PK juga bisa mendorong diversifikasi usahatani dan produk pangan serta diversifikasi konsumsi pangan serta mendorong partisipasi industri pangan di pedesaan. Meningkatkan peran lumbung desa tidak hanya di bidang pangan saja tetapi juga di bidang lain seperti sarana, penyuluhan, modal kelompok dan lainnya, serta menjamin kelancaran mobilitas pangan antar daerah.

Category:

Voice of Borneo:
Saya sangat menghargai komentar yang membangun dan bertanggungjawab

0 komentar