AOI Mendesak Pemerintah Mendukung dan Melindungi Petani Organik

Voice of borneo | 04.48 | 0 komentar

SIARAN PERS: Kamis, 20 Oktober 2011

Pontianak - Pertanian organik berkembang pesat di Indonesia. Namun perkembangan ini tidaklah mudah. Banyak hal yang menghambatnya. Mulai dari masalah internal petani atau kelompok tani hingga eksternal baik kebijakan pemerintah maupun intervensi pihak swasta.
Tanpa dukungan dari para pihak, niat baik dari petani mengembangkan pertanian organik seringkali terhambat oleh tidak adanya ketrampilan praktik pertanian organik yang tepat sesuai standar, tidak mudahnya akses pasar, penentuan harga yang tepat, rendahnya kualitas produk dan sebagainya.
Sementara itu pemerintah nampak masih mengalami dilemma untuk mengeluarkan kebijakan yang mendukung petani organik. Justru beberapa kebijakan pemerintah bisa mengancam semangat petani organik.

Hasil konsolidasi petani organik yang tergabung dalam Aliansi Organis Indonesia (AOI) selama empat hari (17-20 Oktober 2011), di Pontianak, Kalimantan Barat menunjukkan adanya ancaman dari kebijakan sertifikasi bagi produk organik, kebijakan sektor lain yang mengganggu keberlanjutan pertanian organik. Kebijakan pemerintah yang tidak mendukung itu semakin memperburuk dari kesulitan internal dari petani atau kelompok tani.

Kebijakan sertifikasi organik mempersulit petani kecil karena harganya yang mahal dan prosedurnya yang rumit, tak bisa terjangkau oleh petani. Sementara itu beberapa kebijakan sektor lain seperti perluasan perkebunan kelapa sawit dan alih fungsi lahan lainnya pun mengancam pertanian organik. Baru-baru ini petani madu hutan organik yang tergabung dalam Asosiasi Periau Danau Sentarum-APDS mengaku khawatir dengan kebijakan pemerintah yang memperluas perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat.

“Kualitas madu hutan yang telah bersertifikat organik ini bisa terancam oleh kontaminasi pestisida dari perkebunan kelapa sawit di sekitarnya. Maka upaya petani dalam produksi madu hutan berkualitas hingga mendapat sertifikat organik bisa hilang begitu saja,” kata Irawan sebagai salah satu pendamping dari petani madu APDS saat Rapat Umun Anggota (RUA) di Pontianak, Kalimantan Barat 20 Oktober 2011.

Saat ini para petani madu hutan APDS telah berupaya agar pemerintah kabupaten setempat , khususnya Bupati Kubu Raya, Bapak Muda Mahendrawan dak memberikan ijin perluasan kelapa sawit ini. Salah satunya dengan menarik perhatian Bupati melalui upaya ekspor madu APDS pertama ke Serawak, Malaysia.

Selain terancam hilang atau dicabutnya sertifikat organik yang sudah diperoleh petani, kebijakan pemerintah tentang sertifikasi organic juga menghambat petani memasarkan produk organiknya. Hal ini seperti yang dialami oleh petani organik lain yang tergabung di AOI.

Untuk mengatasi berbagai ancaman itu, petani organik bergabung dalam Aliansi Organis Indonesia (AOI). Melalui organisasi petani AOI ini, para petani bisa berbagi informasi dan saling mendukung dalam peningkatan kemampuan maupun mengatasi berbagai ancaman itu. AOI juga menawarkan penjaminan berbasis komunitas (Participatory Guarantee System-PGS) atau PAMOR INDONESIA untuk membantu petani organic mendapat sertifikat yang mudah dan murah. Namun petani organik dengan sertifikat PAMOR ini juga merasa terancam karena pemerintah belum mengakui sertifikasi PGS atau PAMOR.

Menanggapi berbagai isu dan ancaman terhadap pengembangan pertanian organik ini, AOI mendesak pemerintah:
1. Mendukung pengembangan pertanian organik dan konsumsi produk organik di Indonesia.
2. Mengakui penjaminan organik partisipatif (PGS) yang di Indonesia disebut PAMOR INDONESIA.
3. Membantu petani organik kecil mendapatkan sertifikasi organik.
4. Tidak mengeluarkan kebijakan yang mengancam keberlanjutan pertanian organik dan kualitas organik dari produk hutan (seperti ijin perkebunan kelapa sawit, tambang dan sebagainya) .

Category: ,

Voice of Borneo:
Saya sangat menghargai komentar yang membangun dan bertanggungjawab

0 komentar