Marginalisasi Petani oleh Kapitalis
Perkembangan pertanian di Indonesia menjadi wacana menarik dimana sector yang berperan penting dalam mencukupi kebutuhan pangan di Negara ini kondisinya semakin miris dan nasib petani yang ada di negeri ini semakin terpuruk, terlebih petani pangan yang dengan setia memproduksi pangan baik bagi dirinya maupun untuk dipasarkan. Upaya pembangunan sector pertanian yang ditandai dengan kebijakan green revolusi ternyata belum mampu merubah kondisi ini selama 30 tahun bahkan ketergantungan petani terhadap input luar semakin tinggi. Peningkatan harha pupuk dan berbagai jenis alat dan sarana produksi lainnya tidak sebanding dengan harga pembelianproduk petani sehingga hal ini dipastikan bahwa investasi pertanian memiliki resiko tinggi. Kebijakan perlindungan petani semakin jauh dari harapan, konsekwensi ratifikasi instrument kebijakan global dimana Indonesia telah meratifikasi aturan perdagangan dunia terutama Agrrement of Agriculture (AoA) memaksa Pemerintah untuk mengurangi campur tangan dalam perlindungan petani dengan tuntutan pengurangan subsidi bagi petani dan menyerahkan kebijakan pasar kepada mekanisme pasar.
Secara sistematis instrumen global juga menuntut perubahan status penguasaan kebijakan kepada mekanisme pasar, indikasi privatisasi badan Negara seperti perubahan BULOG sebagai BUMN yang diharapkan menjadi badan penyangga beras menjadi Perusahaan swasta (Privat sector). Perubahan ini otomatis telah menghancurkan harapan perlindungan bagi petani. Dalam kasus lainnya kebijakan pendekatan program yang menerapkan pola Intensifikasi dengan penerapan green revolusi (Input kimia sintetis) telah membangun situasi ketergantungan dan membuat kondisi ekologis pertanian tidak seimbang. Pola ini secara pasti telah mengubah karakter petani tercerabut dari prinsip keberlanjutan, artinya petani sudah semakin tergantung dengan tekhnologi luar dan mereka tidak lagi memproduksi pangan yang berkualitas dan aman bagi konsumen.
Berdasarkan analisa yang dilakukan oleh para pemerhati kebijakan global terhadap situasi local terdapat 10 fakta penting dampak liberalisasi perdagangan terhadap pertanian dan pangan rakyat yakni :
1. IMPOR PRODUK PANGAN SEMAKIN MENINGKAT
Sepanjang 5 tahun terakhir, Indonesia mengimpor pangan dalam jumlah yang sangat besar. Beras sebagai makanan pokok rakyat kita mengimpor rata rata 2,83 juta ton/tahun ; gula rata rata 1,6 juta ton/tahun ; jagung rata rata 1,2 juta ton/tahun ; kedelai rata rata 0,8 juta ton/tahun ; buah dan sayuran masing masing rata rata 167 ribu ton/tahun dan 256 ribu ton/tahun ; daging sapi setara dengan 450.000 ekor sapi, dan masih banyak produk pangan mentah dan olahan yang membanjiri pasar kita. Akibatnya harga produk petani kita jatuh karena serbuan produk impor ! Setiap tahun kita selalu mendengar haga gabah petani selalu jatuh akibat membanjirnya beras impor.
2. PENDAPATAN PETANI SEMAKIN MENURUN
Petani pangan kita selalu merugi, pendapatan selalu rendah sementara ongkos produksi melambung tinggi. Seperti yang dialami petani padi, sejak tahun 1999 biaya produksi meningkat dua kali lipat akibat pencabutan subsidi pupuk tanpa kompensasi bagi petani, yang membuat keuntungan semakin menipis karena harga gabah tidak mengalami peningkatan berarti. Apalagi kebutuhan hidup petani semakin meningkat, karena semua kebutuhan hidup menjadi serba mahal. Studi Indro Surono di Jawa Tengah (2003) menunjukkan bahwa pendapatan usahatani petani padi hanya mencukupi untuk 15-20% pengeluaran bulanan keluarga petani kecil.
3. TIDAK ADA SUBSIDI UNTUK PETANI
Tahun 1999, subsidi pupuk dicabut dengan tiba tiba tanpa kompensasi bagi petani bersamaan dengan penurunan tarif impor beras sampai 0 %. Akibatnya: harga input pertanian melonjak tajam dan biaya usahatani meningkat hingga dua kali lipat. Apa artinya ? Pasar dibuka secara bebas, beras impor membanjiri pasar, petani tidak dilindungi. Sampai saat ini petani tidak lagi disubsidi, karena subsidi dianggap mengganggu pasar bebas. Artinya petani miskin (dengan tanpa perlindungan dan subsidi) harus bertarung dengan petani negara maju (yang disubsidi negaranya) di pasar bebas.
4. RAWAN PANGAN DAN KELAPARAN
Pada tahun 2002 terdapat 21,7 persen penduduk rawan pangan, 15 persen merupakan penduduk rawan pangan dan 6 persen merupakan penduduk dalam kategori rawan pangan kronis. Daerah rawan pangan juga meningkat dari 40,5% pada 2001 menjadi 48,0% dari total kabupaten/kota pada 2002. Belum lepas dari ingatan kita, di Lembata NTT terjadi kelaparan dan rawan pangan. Kekeringan dan iklim selalu dipersalahkan, padahal yang ada adalah ketidakadilan distribusi pangan. Distribusi pangan tidak dibangun atas kekuatan dan potensi rakyat sendiri, namun berdasarkan skema bantuan pangan yang “tidak mengganggu pasar”. Bantuan pangan dalam bentuk beras, selalu datang terlambat dan sering ada kasus korupsi dan salah sasaran.
5. BULOG JADI PERUSAHAAN, PETANI TIDAK ADA PERLINDUNGAN
Bulog sampai 1998 berfungsi besar dalam penyangga stok pangan dan perlindungan harga beras domestik. Fungsi ini sesungguhnya adalah fungsi sosial untuk melindungi petani. Namun karena korupsi dan salah urus, maka sejak tahun 1999 sampai saat ini satu persatu peran Bulog dipangkas, direduksi dan dilikuidasi sehingga hanya menjadi perusahaan umum, yang menjalankan fungsi bisnis semata. Demi alasan efisiensi dan tranparansi, Bulog harus di“privatisasi“, dan hilanglah fungsi perlindungan petani.
6. KEPEMILIKAN TANAH TIMPANG, TANAH PERTANIAN DIGUSUR
Persoalan tanah adalah persoalan klasik bagi petani dan pertanian. Namun di era liberalisasi persoalan tidak kunjung usai, malah semakin parah dan rumit. Tanah tanah pertanian terus digusur, untuk kepentingan investasi. Tanah pertanian bisa dikorbankan, demi para investor dan pemilik modal. Di desa desa pertanian, kepemilikan tanah semakin timpang, ada yang punya tanah yang luas namun sebagian besar petani gurem dan tuna lahan.
7. AIR DIPRIVATISASI, PERTANIAN DAN MASYARAKAT MISKIN TERANCAM
Atas tekanan Bank Dunia, sebagian Negara maju dan perusahaan Multinasional, pemerintah RI dan DPR akhirnya menyetujui disahkannya UU No. 7/2004 tentang Sumberdaya Air. UU ini sarat dengan muatan privatisasi: penguasaan dan pengelolaan sumberdaya air oleh swasta. Privatisasi sumberdaya air akan membatasi akses petani dan komunitas miskin untuk memperoleh air bersih, terjangkau dan murah karena untuk memperoleh mereka harus membayar mahal ke perusahaan. Contoh kasus: Privatisasi PAM Jaya oleh Thames dan Lyonaise (Inggris) dimana setelah privatisasi layanan air justru tidak membaik tetapi harganya sudah naik hingga 2 kali. Di Klaten, petani mengeluh karena diduga sebagian air irigasinya disedot oleh perusahaan air minum kemasan.
8. BENIH DIKUASI TNC, PETANI DALAM KETERGANTUNGAN
Akses petani terhadap benih semakin menurun, karena benih telah dikuasai perusahaan produsen benih skala besar (TNC). Benih padi hibrida yang disediakan oleh PT Sang Hyang Sri dan PT. Pertani adalah 100.000 ton per tahun, dan membuka peluang bagi investor pengimpor benih untuk mencukupi kebutuhan benih petani padi sebanyak 450.000 ton per tahun. Semuanya adalah benih hibrida, dan bahkan untuk beberapa bahan pangan telah beredar benih transgenik seperti jagung dan kedelai. Dampaknya adalah petani kehilangan benih padi lokal, pengetahuan konservasi dan seleksi benih kian punah serta petani hanya bisa pasarh bergantung pada benih pabrikan..
9. PEREMPUAN TERGUSUR DARI PERTANIAN
Marginalisasi perempuan di sektor pertanian telah berlangsung lama. Dalam era liberalisasi dampak liberalisasi terhadap peran perempuan semakin nyata. Studi Jarnop (2001) membuktikan bahwa sejak tahun 1999, perempuan semakin tergusur dari sektor pertanian dengan peningkatan drastis jumlah buruh migran di pedesaan di Karawang untuk menjadi TKW di luar negeri. Bahkan beberapa kerja kerja pertanian yang dulu dilakukan perempuan kini juga dilakukan oleh laki laki, dengan pembedaan upah yang signifikan.
10. ROBOHNYA SISTEM PANGAN RAKYAT
Sistem pangan yang genuine dibangun atas kekuatan rakyat sendiri semakin langka. Lumbung lumbung pangan komunitas telah menjadi cerita masa lalu di pedesaan. Kaum miskin pedesaan (ironisnya sebagian besar adalah petani kecil dan buruh tani), mengandalkan bantuan pangan pemerintah di masa paceklik, tidak ada lagi sistem cadangan pangan seperti masa lalu. Liberalisasi sektor pertanian, membuat produk pangan menjadi barang dagangan, membuat sistem pangan rakyat tidak bisa berkembang.
Mengapa penting Kebijakan perlindungan bagi petani kecil
Berdasarkan kondisi diatas maka perlu dilakukan pembenahan ulang strategi pembangunan pertanian kita dimana kedaulatan pangan sebagai bagian dari janji revitalisasi pertanain rakyat harus dijalankan sungguh-sungguh. Berbagai program yang dicanangkan perlu melibatkan petani sebagai subjek utama pertanian. Hal yang penting untuk dilakukan adalah: melakukan peninjauan kembali Need assessment (Penilaian kebutuhan) dengan membangun system penilaian bersama petani, hal ini berdasarkan pengalaman di lapangan bahwa penilaian kebutuhan tidak dilakukan secara komprehensif karena keterbatasan sumber daya manusia fasilitator dan komitmen terhadap petani sebagai ikatan pekerjaan bukan ikatan emosional (Integrity bonding).
Sejarah pembenahan sistem pangan di Indonesia mencatat telah dilakukan dalam dua pola pendekatan. Pertama, pendekatan sentralistik yang hanya mengedepakan kecukupan pangan secara nasional tanpa memperhatikan karakteristik lokal dan ketimpangan relasi sosial dalam akses dan kontrol terhadap pangan. Bentuk ini sangat tergantung kepada kebaikan hati pemerintah, sehingga sulit menghasilkan keadilan akses pangan bagi banyak pihak---terutama lapisan bawah.
Kedua, masyarakat melakukan sendiri pembenahan sistem pangan. Bentuk ini lebih didasarkan pada kepentingan sepihak masyarakat, sehingga sering menimbulkan penolakan-penolakan dari pihak pemerintah yang merasa sebagai pihak yang mempunyai otoritas mengatur kepentingan masyarakat luas.
Dengan mengambil pelajaran dari kedua bentuk tersebut, serta perubahan sistem pemerintahan otonomi daerah sekarang ini, dibutuhkan alternatif ketiga, yaitu pembaruan sistem pangan yang diletakan kepada inisiatif lokal. Para pelaku dalam inisiatif lokal untuk pembaruan sistem pangan lokal tidak hanya terdiri dari masyarakat setempat, melainkan juga meliputi Pemerintah Daerah, pengusaha (lokal, nasional dan internasional), ornop, serta pemerintah pusat. Kerjasama diantara mereka untuk mengkaji masalah pangan serta memutuskan pemecahan masalah bersama-sama akan mewujudkan pembaruan sistem pangan secara mendasar dan damai.
Proyek pertanian yang selama ini telah dicanangkan sudah selayaknya menjadi informasi public dan direncanakan secara partisipatif, penting untuk diketahui bahwa saat ini Pemerintah berupaya melakukan revitalisasi pertanian pangan dengan proyek Desa mandiri pangan di beberapa kabupaten terpilih di 9 propinsi di Indonesia salah satunya di Kalimantan Barat.
Perubahan Input tekhnologi dan pendekatan pendidikan petani menuntut peningkatan kapasitas penyuluh pertanian, pola penyuluhan pertanian yang selama ini dilakukan cenderung tidak membangun kreativitas dan kemandirian petani untuk menjadi petani mandiri. Dalam beberapa hal nasib para penyuluh yang bertugas di lapangan perlu dibenahi kesejahteraannya sehingga mereka tidak berprofesi ganda sebagai formulator atau sales produk pupuk, herbisida dsb.
Perubahan pola pertanian dari high external input (Pertanian dengan input eksternal tinggi) menjadi Low external input (Pertanian dengan input eksternal rendah) dipahami sebagai proses transisi menuju pertanian organik. Selama masa konversi ini petani harus didukung baik dalam perlindungan pasar maupun pengalihan pola subsidi. Pertanian organik terintegrasi dengan komponen lainnya sehingga petani organic merupakan petani yang tidak hanya mengandalkan komoditi tunggal , komponen pertanian mereka dibangun sebagai sebuah system yang saling mndukung seperti ternak, pengelolaan sumber daya air dan sebagainya.
Category:
0 komentar