Kisah bersama para peladang

Voice of borneo | 18.54 | 0 komentar

kedatanganku disore hari disambut dengan keramahan masyarakat desa Tanjung, memang sudah diprediksi perjalanan dari kota Sintang selama 6 jam dengan mobil akan tiba menjelang malam, Setelah rehat sejenak tak sabar lagi menjelajah kampung ini. Sore itu kami mandi disungai dengan kondisi air yang jernih dan sejuk. Berbatuan sungai dan ikan ikan kecil yang hidup disana seolah olah mengundangku untuk segera berenang menikmati sejuknya air yang mengalir dari pegunungan Muller. rasa letih dan penat setelah menmpuh perjalanan panjang hilang dan disegarkan dinginnya air yang mengalir jernih diantara bebatuan dari pegungungan Muller.
Seperti kisah sebelumnya bahwa Desa Tanjung ini merupakan perkampungan terakhir yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan di pegunungan Muller Swanner yang merupakan ladskape pembatas administrasi Borneo barat dan Tengah., masyarakat Tanjung sebagai penjaga terakhir kelestarian kawasan ini patut berbangga karena mereka masih menikmati kekayaan sumberdaya alam yang berlimpah. Tanah yang subur memberikan mereka kebun dan ladang ladang yang subur ,kekayaan mineral  memberikan mereka emas yang didulang setiap hari dan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup dan tradisi masyarakat peladang yang masih arif dalam mengelola ladang ladangnya.
Setelah selesai menikmati makan malam bersama warga desa, kami berdiskusi tentang tujuan kedatangan dan persiapan yang akan dilakukan selama empat hari kedepan. Kepala Desa telah memastikan bahwa semua masyarakat sangat antusias untuk terlibat dalam sekolah lapang persiapan lahan dan pembangunan pembibitan tanaman karet.

Pertemuan malam ini semakin menguatkan komitmen untuk memulai langkah perubahan pola budidaya kebun karet yang mereka miliki, kebutuhan hadirnya orang lain yang mendampingi mereka segera terwujud, kondisi sebelumnya mereka belum pernah mendapatkan sentuhan langsung dari Pemerintah.
Tak sabar menunggu pagi untuk memulai observasi lapang bersama mereka , kusiapkan sejumlah peralatanku seperti kamera dan meteran.

Saat pagi tiba aku telah menyelesaikan sarapanku dan menunggu perwakilan kelompok menjemput untuk pergi ke lokasi yang akan dijadikan pusat belajar pembibitan. Perjalanan lima belas menit melewati jalanan setapak akhirnya tiba dipinggir sungai suruk ,Sungai ini mengalir dari pegunungan Muller hingga bermuara ke sungai Kapuas . Letak lahan yang akan dijadikan demplot pembelajaran terletak dipinggir sungai , pemilihan lokasi ini sesuai dengan persyaratan tekhnis pembibitan  seperti lokasi harus dekat dengan sumber air dan relatif datar. Sekilas memandang dari kejauhan areal yang sudah disiapkan seperti mozaik coklat diantara warna warna hijau. Perasaanku jadi gugup karena disana telah menunggu tidak kurang enampuluhan petani yang terdiri dari kelompok laki laki dan perempuan. Wajah mereka penuh harap dan bersemangat menyambut diriku dan menunggu apa yang akan dimulai.
Setelah perkenalan dan menjelaskan tentang apa yang akan dilakukan dengan lahan demplot akhirnya aku menemukan tantangan pertama yakni menilai kesesuain kontur untuk pembagian ruang pembibitan .
Panas terik semakin terasa namun semangat mereka tak pernah surut dan sesekali terlihat canda dan obrolan serius.
Suprise bagiku melihat dan mengalami canda ditengah ladang dan orang orang saling mencoreng muka kawannya dengan arang dari pembakaran kayu kayu..hahahahahahaha bak pasukan khusus yang siap tempur dan tiada lelah lagi yang terlihat karena harapan mereka jauh lebih besar untuk sebuah perubahan
Memulai proses bersama petani dilapangan

Gotong royong membersihkan lahan





Category: ,

Voice of Borneo:
Saya sangat menghargai komentar yang membangun dan bertanggungjawab

0 komentar