Asap, Kebakaran dan Bencana Berkelanjutan

Voice of borneo | 21.34 | 0 komentar

Fenomena umum disaat musim kemarau tiba adalah asap yang diakibatkan oleh kebakaran lahan hutan dan gambut di Indonesia, kerugian yang ditimbulkan oleh gangguan asap buka hanya diwilayah kejadian tetapi merambah sampai ke negara tetangga seperti Malaysia, Singapore. Tidak jarang Indonesai dipermalukan dan dituduh sebagai penyumbang polusi terparah di regional Asia.
Kerugian yang ditimbulkan bukan hanya dalam aspek ekonomi seperti tergangunya sistem transportasi, meningkatnya kawasan yang terbakar , meningkatnya penderita penyakit pernafasan dan kehlangan material.
Kebakaran hutan dan lahan juga memusnahkan habitat dan keanekaragaman jenis sumberdaya hayati terutama kawasan hutan rawa gambut .
Kerugian ini tak akan terbayarkan dan bersifat irreversibel atau sulit untuk pulih, sebagai contoh gambut memegang peranan penting dalam sistem hidrologi alam , kemampuan gambut dalam menyimpan air sangat tinggi dibandingkan dengan tanah. Kehilangan gambut akibat kebakaran setiap tahun semakin tinggi.
Pengeringan hutan gambut oleh pemerintah Indonesia di hutan gambut kalimantan untuk dijadikan lahan pertanian telah menyebabkan tingginya angka kebakaran hutan gambut. Kebakaran besar terjadi tahun 1997-1998 dan 2002-2003.
Sebuah studi dari European Space Agency mengemukakakn bahwa hutan gambut memiliki potensi sebagai penyerap karbon planet. Kebakaran pada tahun 1997-1998 telah melepaskan hungga 2.5 miliar ton karbon, dan kebakaran tahun 2002-2003 telah melepaskan antara 200 juta hingga 1 miliar ton karbon, ke atmosfer. Perkebunan kelapa sawit diKalimantan berperan besar dalam proses pengeringan hutan gambut yang menyebabkan karbon terlepas dari lahan gambut. Penyelamatan hutan gambut diketahui dapat mencegah terlepasnya karbon lebih banyak per satuan luas dibandingkan usaha pencegahan deforestasi, dan biaya yang dikeluarkan lebih sedikit.[1] Indonesia memiliki 50% hutan gambut di wilayah tropis dan 10% hutan gambut dunia.[2]
Betapa pentingnya fungsi gambut maka Pemerintah telah menerbitkan peraturan tentang pencegahan kebakaran dilahan gambut.
peraturan pemerintah tentang ekosistem gambut salah satu mandat dari Undang-undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Tujuannya, menahan laju kerusakan kawasan ekosistem ekosistem gambut.
Apakah dengan peraturan ini semua persoalan selesai? ternyata kebakaran gambut dan pelanggaran aturan secara kasat mata masih terjadi dan mengakibatkan kebakaran dan asap berkepanjangan. Pertanyaa publik dan negara negara lain terhadap keseriusan Pemerintah Indonesia didalam menangani isyu lingkungan sangat wajar. Fakta dilapangan membuktikan bahwa kehilangan gambut dan kekeringan diakibatkan oleh ulah pembangunan terutama sektor pertanian, perkebunan, kehutanan dan pertambangan.
Penerbitan ijin konsesi pada lahan gambut dan membuat drainase atau kanal telah mengakibatkan kekeringan. Gambut adalah akumulasi dari unsur vegetasi yang membusuk sebagian. Gambut umumnya terbentuk di area rawa, disaat tumbuhan tersebut tidak dapat sepenuhnya membusuk oleh karena kondisi asam dan anaerobik. Gambut biasanya terbentuk dari vegetasi rawa, sebagai contoh pohon-pohonan, rumput-rumputan, dan jamur, dan juga beberapa tipe bahan sisa-sisa organik, seperti serangga dan bangkai hewan.
Gambut terbentuk dalam ribuan tahun, berkembang dengan pertumbuhan sekitar satu milimeter per tahun, yang jika dalam kondisi tepat, merupakan tahapan awal terbentuknya batu bara , ingat bahwa kerusaka gambut tidak bisa dipulihkan.
Apakah Bencana Kebakaran ini berakhir setelah api padam dan asap hilang? tentunya tidak , perubahan kehilangan pengatur keseimbangan air ini berkepanjangan. Seiring hilangnya sabuk pengaman atau gambut, maka interusi air laut kedaratan semakin jauh, demikian juga dengan air tanah semakin menghilang bahkan bisa mengakibatkan bankir bandang pada musim penghujan.
Perubahan ini akan mengakibatkan bencana ekologis dan sulit untuk dibayangkan setiap tahun kita akan kehilangan daratan dan lahan lahan pangan yang produktif karena kekeringan, interusi garam dan banjir.
Menurut artikel di National Geographic Studi baru memaparkan, sepanjang 100 tahun belakangan ini ketinggian permukaan laut telah meningkat secara berkala.
Temuan ini dipublikasikan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences menujukkan bahwa sejak 6.0000 tahun ini, tidak pernah permukaan laut meningkat lebih dari 20 centimeter. Namun hal itu terpecahkan semenjak 200 tahun ini. 

“Berdasarkan catatan peningkatan ketinggian air laut, sepanjang 100 tahun ini air laut memang semakin tinggi 20 centimeter,” papar Kurf Lambeck dari Research School of Earth Sciences dan Australian National University.

Lambeck tidak menemukan catatan geologi peningkatan air laut hingga setinggi ini sejak 100 tahun terakhir. Lambeck dan rekannya juga menegaskan bahwa fluktuasi alami di permukaan laut selama 6.000 tahun telah berakhir.

Category:

Voice of Borneo:
Saya sangat menghargai komentar yang membangun dan bertanggungjawab

0 komentar