Asap, Kebakaran dan Bencana Berkelanjutan
Fenomena umum disaat musim kemarau tiba adalah asap
yang diakibatkan oleh kebakaran lahan hutan dan gambut di Indonesia, kerugian
yang ditimbulkan oleh gangguan asap buka hanya diwilayah kejadian tetapi
merambah sampai ke negara tetangga seperti Malaysia, Singapore. Tidak jarang
Indonesai dipermalukan dan dituduh sebagai penyumbang polusi terparah di
regional Asia.
Kerugian yang ditimbulkan bukan hanya dalam aspek
ekonomi seperti tergangunya sistem transportasi, meningkatnya kawasan yang
terbakar , meningkatnya penderita penyakit pernafasan dan kehlangan material.
Kebakaran hutan dan lahan juga memusnahkan habitat dan
keanekaragaman jenis sumberdaya hayati terutama kawasan hutan rawa gambut .
Kerugian ini tak akan terbayarkan dan bersifat
irreversibel atau sulit untuk pulih, sebagai contoh gambut memegang peranan
penting dalam sistem hidrologi alam , kemampuan gambut dalam menyimpan air
sangat tinggi dibandingkan dengan tanah. Kehilangan gambut akibat kebakaran setiap
tahun semakin tinggi.
Pengeringan hutan gambut oleh pemerintah Indonesia di hutan gambut
kalimantan untuk
dijadikan lahan pertanian telah menyebabkan tingginya angka kebakaran hutan
gambut. Kebakaran besar terjadi tahun 1997-1998 dan 2002-2003.
Sebuah studi dari European Space Agency mengemukakakn bahwa hutan gambut
memiliki potensi sebagai penyerap karbon planet. Kebakaran pada tahun 1997-1998
telah melepaskan hungga 2.5 miliar ton karbon, dan kebakaran tahun 2002-2003
telah melepaskan antara 200 juta hingga 1 miliar ton karbon, ke atmosfer.
Perkebunan kelapa sawit diKalimantan berperan besar dalam proses
pengeringan hutan gambut yang menyebabkan karbon terlepas dari lahan gambut.
Penyelamatan hutan gambut diketahui dapat mencegah terlepasnya karbon lebih
banyak per satuan luas dibandingkan usaha pencegahan deforestasi,
dan biaya yang dikeluarkan lebih sedikit.[1] Indonesia memiliki 50% hutan gambut di
wilayah tropis dan 10% hutan gambut dunia.[2]
Betapa
pentingnya fungsi gambut maka Pemerintah telah menerbitkan peraturan tentang
pencegahan kebakaran dilahan gambut.
peraturan
pemerintah tentang ekosistem gambut salah satu mandat dari Undang-undang No.32
tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Tujuannya,
menahan laju kerusakan kawasan ekosistem ekosistem gambut.
Apakah dengan peraturan ini semua persoalan selesai?
ternyata kebakaran gambut dan pelanggaran aturan secara kasat mata masih
terjadi dan mengakibatkan kebakaran dan asap berkepanjangan. Pertanyaa publik
dan negara negara lain terhadap keseriusan Pemerintah Indonesia didalam
menangani isyu lingkungan sangat wajar. Fakta dilapangan membuktikan bahwa
kehilangan gambut dan kekeringan diakibatkan oleh ulah pembangunan terutama
sektor pertanian, perkebunan, kehutanan dan pertambangan.
Penerbitan ijin konsesi pada lahan gambut dan membuat
drainase atau kanal telah mengakibatkan kekeringan. Gambut adalah akumulasi dari
unsur vegetasi yang membusuk sebagian. Gambut umumnya terbentuk di area rawa,
disaat tumbuhan tersebut tidak dapat sepenuhnya membusuk oleh karena kondisi
asam dan anaerobik. Gambut biasanya terbentuk dari vegetasi rawa, sebagai
contoh pohon-pohonan, rumput-rumputan, dan jamur, dan juga beberapa tipe bahan
sisa-sisa organik, seperti serangga dan bangkai hewan.
Gambut terbentuk dalam ribuan tahun, berkembang dengan
pertumbuhan sekitar satu milimeter per tahun, yang jika dalam kondisi tepat,
merupakan tahapan awal terbentuknya batu bara , ingat bahwa kerusaka gambut
tidak bisa dipulihkan.
Apakah Bencana Kebakaran ini berakhir setelah api
padam dan asap hilang? tentunya tidak , perubahan kehilangan pengatur
keseimbangan air ini berkepanjangan. Seiring hilangnya sabuk pengaman atau
gambut, maka interusi air laut kedaratan semakin jauh, demikian juga dengan air
tanah semakin menghilang bahkan bisa mengakibatkan bankir bandang pada musim
penghujan.
Perubahan ini akan mengakibatkan bencana ekologis dan
sulit untuk dibayangkan setiap tahun kita akan kehilangan daratan dan lahan
lahan pangan yang produktif karena kekeringan, interusi garam dan banjir.
Menurut artikel di National Geographic Studi
baru memaparkan, sepanjang 100 tahun belakangan ini ketinggian permukaan laut telah meningkat secara
berkala.
Temuan ini dipublikasikan dalam Proceedings of the National
Academy of Sciences menujukkan bahwa sejak 6.0000 tahun ini, tidak pernah
permukaan laut meningkat lebih dari 20 centimeter. Namun hal itu terpecahkan
semenjak 200 tahun ini.
“Berdasarkan catatan peningkatan ketinggian air laut, sepanjang 100 tahun ini air laut memang semakin tinggi 20 centimeter,” papar Kurf Lambeck dari Research School of Earth Sciences dan Australian National University.
“Berdasarkan catatan peningkatan ketinggian air laut, sepanjang 100 tahun ini air laut memang semakin tinggi 20 centimeter,” papar Kurf Lambeck dari Research School of Earth Sciences dan Australian National University.
Lambeck tidak menemukan catatan geologi peningkatan air laut
hingga setinggi ini sejak 100 tahun terakhir. Lambeck dan rekannya juga
menegaskan bahwa fluktuasi alami di permukaan laut selama 6.000 tahun telah
berakhir.
Category: artikel
0 komentar